tsabitron

1 2 3 sayang semuanya

Tuesday, May 24, 2022

Fatwa Ulama: Fawaid Seputar Surat Al Ikhlash

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah

Pertanyaan:

Mengapa surah “qul huwallāhu ahad” dinamakan dengan surah Al-Ikhlas? Apa sisi pendalilannya? Mengapa surah ini dikatakan mencakup tiga jenis tauhid? Saya mohon penjelasan akan hal tersebut.
 

Jawaban:

Surah Al-Ikhlas adalah firman Allah Ta’ala,

﴿قلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ۞ اللَّهُ الصَّمَد ۞ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ُ۞ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدٌ﴾

“Katakanlah, Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Ash-Shamad (Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu). Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara bagi-Nya.” (QS. Al-Ikhlas: 1-4).

Dinamakan surah Al-Ikhlas karena dua hal, yaitu:

Pertama, Allah Ta’ala menjadikan surah tersebut murni untuk diri-Nya. Tidak ada di dalamnya perkataan kecuali tentang Allah Subhanahu wa ta’ala dan sifat-sifat-Nya.

Kedua, untuk seseorang yang membaca surah ini akan memurnikan akidahnya dari kesyirikan, jika dia membacanya dengan meyakini apa yang ditunjukkan surah tersebut.

Adapun sisi pendalilan nama tersebut mencakup tiga bentuk tauhid, yaitu:

Pertama, tauhid rububiyah;

Kedua, tauhid uluhiyah; dan

Ketiga, tauhid al-asmaa’ was shifaat.

Dalil yang berhubungan dengan tauhid uluhiyah adalah ayat,

(قل هو الله)

“Katakanlah Dialah Allah” (QS. Al-Ikhlas: 1).

Allah Ta’ala satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Tidak ada yang berhak disembah selain Allah Ta’ala. Inilah pendalilan tauhid uluhiyyah.

Sedangkan dalil yang berhubungan dengan tauhid rububiyyah dan tauhid al-asmaa’ was shifat ada dalam firman-Nya,

(الله الصمد)

“Allah-lah Ash-Shamad (Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu)” (QS. Al-Ikhlas: 2).

Firman Allah Ta’ala ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala yang Mahasempurna dalam sifat-sifat-Nya dan semua ciptaan-Nya bergantung kepada Allah Ta’ala. Kesempurnaan sifat-sifat Allah Ta’ala berkaitan dengan tauhid al-asma’ was shifat. Kebutuhan dan kebergantungan semua makhluk kepada-Nya merupakan dalil bahwa Dia adalah satu-satunya Tuhan yang menjadi tujuan manusia. Tujuannya untuk menghindarkan seorang hamba dari segala kesusahan dan hal-hal yang dibenci, serta tercapainya keinginan-keinginan dan segala kebutuhan.

Pada firman-Nya,

(أحد)

“… Maha Esa.” (QS. Al-Ikhlas: 1).

memiliki kandungan tiga perkara tauhid. Allah Subhanahu wa ta’ala satu-satunya yang memiliki sifat-sifat seperti disebutkan di atas, yaitu secara uluhiyah (pengesaaan Allah dalam beribadah) dan kebergantungan para makhluk kepada-Nya. Allah Ta’ala melanjutkan surah tersebut dengan firman-Nya,

(لم يلد ولم يولد)

“Tidak memiliki anak dan tidak pula diperanakkan.” (QS. Al-Ikhlas: 3).

Pada ayat ini terdapat bantahan terhadap kaum Nasrani yang mengatakan, “Sesungguhnya Isa Al-Masih adalah anak Allah.” Ayat ini juga membantah kaum Yahudi yang mengatakan, “‘Uzair adalah anak Allah.” Dan juga membantah kaum musyrikin yang mengatakan, “Sesungguhnya para malaikat adalah anak-anak perempuan Allah.” Pada ayat selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,

(لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفواً أحد)

“Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara bagi-Nya.” (QS. Al-Ikhlas: 3-4)

Allah Ta’ala berfirman,

(ولم يكن له كفواً أحد)

“Dan tidak ada seorang pun yang setara bagi-Nya.” (QS. Al-Ikhlas: 4).

Ayat ini bertujuan untuk menunjukkan kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Tidak ada satu pun yang setara dengan Allah Ta’ala dan tidak ada satu pun yang semisal dengan Allah Ta’ala.


Sumber: https://muslim.or.id/73261-fatwa-ulama-fawaid-seputar-surat-al-ikhlash.html

 

https://static.muslim.or.id/wp-content/uploads/2022/03/20220325-Fatwa-Ulama-Fawaid-Seputar-Surat-Al-Ikhlash-768x474.jpg

 

logoblog

Monday, May 23, 2022

Fatwa Ulama: Benarkah Puasa Syawal Hukumnya Makruh?

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

 

Pertanyaan:

Apa pendapat Anda tentang puasa enam hari setelah bulan Ramadan di bulan Syawal? Di dalam kitab Muwaththa’ karya Imam Malik rahimahullah, beliau berkata tentang puasa enam hari setelah Idulfitri, “Bahwa tidak ada seorang pun dari ulama dan ahli fikih yang menganjurkan untuk berpuasa pada saat itu. Tidak juga riwayat dari (ulama) salaf sampai kepadaku. Para ulama memakruhkan hal itu. Mereka bahkan khawatir ini termasuk bid’ah, dan termasuk menyambung puasa Ramadan dengan puasa lain yang bukan darinya.” Pernyataan beliau ada di dalam kitab Al-Muwaththa’ no. 228, juz yang pertama. [1]



Jawaban:

Terdapat hadits yang sahih dari Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من صام رمضان ثم أتبعه ستًا من شوال فذاك صيام الدهر

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadan, lalu mengikutinya dengan (puasa) enam hari puasa di Syawal, maka (seakan-akan) itu puasa satu tahun (setahun).” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi) [2]

Hadis sahih ini menunjukkan bahwa puasa enam hari di bulan Syawal adalah sunah. Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, dan jama’ah (banyak) para imam dari ulama telah mengamalkan hadis ini. Tidaklah benar untuk mempertentangkan hadis ini dengan apa yang menjadi pendapat sebagian ulama, yaitu makruh untuk berpuasa dikarenakan takut dianggap oleh orang yang jahil bahwa ini termasuk dari bulan Ramadan, atau khawatir anggapan wajibnya hal tersebut, atau bahwa tidak sampai (riwayat) kepadanya seorang pun dari ahli ilmu yang mendahuluinya berpuasa. Sesungguhnya itu termasuk dari zhan (prasangka) dan tidak bisa melangkahi As-Sunnah yang sahih.

Dan orang yang memiliki ilmu, menjadi hujjah bagi yang tidak memiliki ilmu.



Sumber: http://iswy.co/e1394t



Artikel: www.muslim.or.id

[1] Dalam kitab Al-Muwaththa’, Bab Jami’ Ash-Shiyam, hal. 330. Diriwayatkan dari Abu Mush’ab Az-Zuhri,

857 – وقال مَالِك: فِي صِيَامِ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ: إِنَّهُ لَمْ يَرَ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْفِقْهِ يَصُومُهَا، وَلَمْ يَبْلُغْه ذَلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ، وَإِنَّ أَهْلَ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ ذَلِكَ، وَيَخَافُونَ بِدْعَتَهُ، وَأَنْ يُلْحِقَ بِرَمَضَانَ أهل الْجَفَاءِ وَأَهْلُ الْجَهَالَةِ، مَا لَيْسَ فيهُ لَوْ رَأَوْا فِي ذَلِكَ رُخْصَةً من أَهْلِ الْعِلْمِ، وَرَأَوْهُمْ يَعْمَلُونَ ذَلِكَ.

Imam Malik Rahimahullah berkata, “Mengenai puasa enam hari setelah berbuka dari bulan Ramadan, maka sesungguhnya tidak ada seorang pun dari kalangan ahli ilmu dan ahli fikih yang berpandangan untuk berpuasa (enam hari tersebut) dan tidak juga sampai (riwayat puasa syawal) dari seorang salaf pun. Para ulama memakruhkan hal tersebut dan khawatir akan status bid’ah-nya, atau adanya (anggapan) tersambungnya (termasuk) Ramadan oleh ahlul jafa’ (orang yang meremehkan) dan orang-orang bodoh dengan sesuatu yang bukan bagian dari Ramadan. Walaupun sebagian ulama ada yang membolehkannya dan mereka mengetahui ada orang jahil yang demikian.”

[2] Dalam kitab Shahih wa Dha’if Sunan At-Tirmidzi karya Syekh Al-Albani, beliau menilai hadis ini hasan sahih.


Sumber: https://muslim.or.id/75189-fatwa-ulama-benarkah-puasa-syawal-hukumnya-makruh.html

Baca Juga:

    Fatwa Ulama: Puasa Syawal ketika Masih Memiliki Hutang Puasa Ramadan https://muslim.or.id/75036-puasa-syawal-ketika-masih-memiliki-hutang-ramadan.html

    Fikih Puasa Syawal https://muslim.or.id/30930-fikih-puasa-syawal.html


    Hukum Menggabungkan Puasa Qada Ramadan dengan Puasa Syawal https://muslim.or.id/75210-hukum-menggabungkan-puasa-qadha-ramadhan-dengan-puasa-syawal.html

 

 

https://static.muslim.or.id/wp-content/uploads/2022/05/20220515-Fatwa-Ulama-Benarkah-Puasa-Syawal-Hukumnya-Makruh-768x474.jpg

logoblog

Sunday, May 22, 2022

Fatwa Ulama: Perbedaan Makna Iman, Tauhid, dan Akidah

Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu Ta’ala


Pertanyaan:

Iman, tauhid, dan akidah adalah nama-nama dan istilah-istilah yang tersendiri. Apakah masing-masing berbeda  maknanya?
Jawaban:

Iya, ketiganya berbeda tetapi kembali pada satu hal. At-tauhid adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Al-imān adalah meyakini bahwa Allah Ta’ala yang berhak untuk diibadahi semata dan meyakini semua yang difirmankan-Nya. Iman memiliki makna lebih luas dibanding makna tauhid. Tauhid merupakan mashdar dari wahhada – yuwahhidu, yang maknanya mengesakan Allah Ta’ala dalam ibadah dan mengkhususkan-Nya dengannya. Tauhid maknanya meyakini bahwa Allah Ta’ala semata yang berhak disembah. Allah adalah Al-Khāliq (Maha Pencipta), Ar-Rāziq (Maha Pemberi Rizqi), yang Mahasempurna dalam segala nama, sifat, dan perbuatan-Nya. Allah Ta’ala adalah Maha Pengatur, yang mengatur segala urusan hambanya. Allah Ta’ala semata adalah yang berhak diibadahi.

Tauhid artinya mengesakan Allah dalam ibadah dan menafikan semua sesembahan selain Allah Ta’ala. Iman memiliki makna lebih luas daripada tauhid. Iman di dalamnya mencakup makna tauhid. Iman bentuknya mentauhidkan Allah dan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya. Makna iman mencakup juga menerima dan membenarkan semua yang disampaikan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Akidah memiliki makna yang mencakup dua perkara. Makna akidah mencakup makna tauhid dan makna iman. Makna iman yang tercakup dalam makna akidah antara lain: iman kepada Allah, iman kepada kabar yang datang dari Allah, iman kepada kabar dari Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan iman kepada asma wa shifat-Nya.

Akidah adalah sesuatu yang diyakini seorang manusia dengan hatinya. Dia beragama dengan akidah tersebut dan menyembah Allah Ta’ala dengan akidah tersebut. Makna akidah mencakup semua yang diyakini terkait perkara tauhid. Akidah juga mengimani bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Khāliq, Ar-Rāziq, dan pemilik al-asmaa’ al-husnaa (nama-nama yang indah) dan ash-shifaat al-’ulaa (sifat-sifat yang tinggi). Selain itu, akidah mencakup mengimani bahwa suatu ibadah tidak sah jika ditujukan kepada selain Allah Ta’ala. Makna akidah juga mencakup beriman kepada perintah Allah Ta’ala berupa pengharaman, penghalalan, dan syariat yang diturunkan. Oleh karena itu, akidah memiliki makna lebih luas dibandingkan iman dan tauhid [1].



Fatwa Syekh Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala


Pertanyaan:

Apakah makna iman sama dengan tauhid?
Jawaban:

Tauhid adalah mengesakan Allah ‘Azza Wa Jalla dalam hal yang menjadi kekhususan Allah Ta’ala dan hal yang wajib untuk-Nya. Sedangkan iman adalah membenarkan dengan disertai al-qabuul (menerima dengan lapang dada) dan al-idz’aan (taat).

Keduanya memiliki keumuman dan kekhususan. Setiap orang yang bertauhid adalah orang yang beriman (mukmin) dan setiap mukmin secara umum adalah orang yang bertauhid. Akan tetapi, terkadang makna tauhid lebih khusus dari makna iman, dan terkadang makna iman lebih khusus dari makna tauhid. Wallahu a’lam [2].

***


Referensi:

[1] Majmu’ Fatawa Wa Maqaalaat Asy-Syaikh Ibn Baaz (6/ 277) (https://binbaz.org.sa/fatwas/1656/اختلاف-مدلولات-الايمان-والتوحيد-والعقيدة).

[2] Majmu’ Fatawa Wa Rasaa-il Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin, Jilid Pertama, Bab At-Tauhid (http://iswy.co/e3jnq).


Sumber: https://muslim.or.id/73263-fatwa-ulama-perbedaan-makna-iman-tauhid-dan-akidah.html


Baca Juga:

    Faktor Eksternal Perusak Iman https://muslim.or.id/72264-faktor-eksternal-perusak-iman.html


    Definisi Iman Menurut Ahlus Sunnah https://muslim.or.id/72139-definisi-iman-menurut-ahlus-sunnah.html


    Bagaimana Seharusnya Toleransi Beragama antar Negara Islam?  https://muslim.or.id/71286-bagaimana-seharusnya-toleransi-beragama-antar-negara-islam.html

 

https://static.muslim.or.id/wp-content/uploads/2022/03/20220325-Fatwa-Ulama-Perbedaan-Makna-Iman-Tauhid-dan-Akidah-768x474.jpg

 

logoblog

Saturday, May 21, 2022

Manusia Berasal dari Kera?

Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan:

Seperti yang telah diketahui, bahwa sebagian manusia menduga bahwa mereka berasal dari hewan, karena mereka setuju dengan teori orang barat (baca: teori evolusi). Bagaimana pendapat Anda dalam hal tersebut?

Jawaban:

نظرية دارون تقول الإنسان أصله قرد وأن ابن آدم حيوان ينطق وكلنا حيوان، فالله خلق لابن آدم حياة وجعل له عقلاً ونطقاً

“Teori Darwin berbunyi bahwa manusia berasal dari kera. Teori tersebut mengklaim bahwa anak keturunan Adam adalah hewan yang bisa berbicara, dan setiap manusia adalah hewan. Padahal, Allah Ta’ala telah menciptakan anak keturunan Adam kehidupan dan menjadikan mereka memiliki akal dan dapat berbicara.”

ولكن هذه النظرية الخبيثة باطلة بإجماع أهل العلم، فالقردة أمة من الأمم والكلاب أمة من الأمم والخنازير أمة من الأمم والقطط أمة من الأمم وهكذا الأسود والنمور والفهود وغيرها، أما الإنسان فهو حيوان مستقل ناطق عاقل خلقه الله من ماء مهين، وأبونا آدم عليه الصلاة والسلام خلقه الله من طين

“Teori yang buruk ini adalah sebuah kesalahan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ahli ilmu. Kera adalah satu jenis tersendiri dari sekian banyak jenis makhluk hidup [1]. Demikian juga anjing adalah satu jenis tersendiri dari sekian banyak jenis makhluk hidup. Babi adalah satu jenis tersendiri dari sekian banyak jenis makhluk hidup. Kucing adalah satu jenis tersendiri dari sekian banyak jenis makhluk hidup. Seperti itu pula dari singa, harimau, citah, dan lain-lain. Adapun manusia, maka ia adalah jenis makhluk hidup tersendiri. Ia dapat berbicara, berakal, dan diciptakan Allah Ta’ala dari air yang hina. Bapak kita adalah Adam ‘Alaihi Ash-Sholatu Wassalaam. Allah Ta’ala menciptakan beliau dari tanah.”

فهو حيوان مستقل وأمة من الأمم قائمة وهم بنو آدم، والجن أيضاً أمة قائمة خلقوا من مارج من نار، وكل نوع من الحيوان أمة قائمة حتى النمل أمة.

“Maka, manusia adalah jenis makhluk hidup yang tersendiri. Salah satu jenis dari sekian banyak jenis makhluk hidup yang ada. Mereka adalah Bani Adam (anak keturunan Adam). Golongan jin juga demikian. Mereka diciptakan dari nyala api. Setiap jenis dari makhluk hidup tersebut adalah sebuah umat tersendiri. Bahkan semut adalah satu umat tersendiri. [2]


Sumber: https://muslim.or.id/71915-manusia-berasal-dari-kera.html

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:
[1] Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُم

“Tidaklah setiap makhluk yang berjalan di muka bumi, demikian juga burung-burung yang terbang dengan dua sayapnya, kecuali mereka semua adalah umat-umat seperti kalian” (QS. Al An’am: 38).


[2] Dikutip dari As’ilatul Hujjaj tahun 1407 H Kaset no.1, Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu Ta’ala (http://iswy.co/e1048p).

Sumber: https://muslim.or.id/71915-manusia-berasal-dari-kera.html

 

https://static.muslim.or.id/wp-content/uploads/2022/01/20220123-Manusia-Berasal-dari-Kera-tanda-tanya-768x474.jpg

 

logoblog

Friday, May 20, 2022

Hukum Mengkhususkan Seorang Anak dalam Pemberian

Fatwa Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah

Pertanyaan:

Sesungguhnya saya anak pertama dan saya memiliki empat saudari. Bapak saya –walhamdulillah– orang yang berkecukupan dan banyak harta. Ia memiliki beberapa ladang tani dan dua rumah. Bapak saya ingin menghibahkan kepada saya sepetak tanah seluas dua qirat (sekitar 350 m2), sehingga tidak tersisa dari miliknya, kecuali sedikit (sangat kurang dari sepertiga). Ini pun dilakukan dengan jalan jual beli, dengan akad jual beli. Saya tidak membayar sepeser pun untuk tanah ini  karena saya adalah anak laki-laki satu-satunya. Sungguh saya sangat yakin saudari-saudari saya mencintai saya dan mereka tidak akan merasa keberatan. Namun, saya belum bermusyawarah dengan mereka dalam hal itu.

Apakah boleh orangtua saya melakukan hal tersebut dengan pertimbangan bahwa saya adalah anak laki-laki satu-satunya? Atau saya harus membayar untuknya harga atas tanah ini? Atau haruskah saya untuk mengambil persetujuan dari saudari-saudari saya dengan baik dan rida mereka atas jual-beli ini tanpa saya membayar sepeser pun untuk tanah tersebut?



Jawaban:

Tidak diperbolehkan bagi Ayah Anda untuk mengkhususkan Anda dengan pemberian tanpa dibagi juga kepada saudari-saudari Anda. Walaupun dengan nama jual-beli. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

اتقوا الله، واعدلوا بين أولادكم

“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah di antara anak-anak kalian.” (HR. Bukhari – Muslim)

Akan tetapi, jika saudari-saudarimu rida dan mereka sudah diberitahu bahwa ayah Anda mengkhususkan Anda dengan sesuatu pemberian, maka tidak mengapa. Dengan syarat keridaan mereka sahih (benar-benar), bukan paksaan atau takut, atau hal semacamnya yang menyebabkan bersepakatnya mereka atas pengkhususanmu tanpa rida mereka.

Sifat adil dalam pemberian itu adalah dengan menyamaratakan pemberian di antara anak-anak. Namun, jika mereka berbeda jenis kelamin, ada yang laki-laki dan ada yang perempuan, maka diberikan untuk laki-laki semisal dua bagian dari perempuan sebagaimana aturan dalam warisan.

Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita semua.

Sumber: http://iswy.co/e109ef

Sumber: https://muslim.or.id/71776-fatwa-seputar-pemberian-orang-tua-kepada-anak.html

Baca Juga: Yatim Piatu karena Orang Tuanya Sangat Sibuk, Tidak Peduli Anaknya https://muslim.or.id/59829-yatim-piatu-karena-orang-tuanya-sangat-sibuk.html


https://i.picsum.photos/id/1001/5616/3744.jpg?hmac=38lkvX7tHXmlNbI0HzZbtkJ6_wpWyqvkX4Ty6vYElZE


logoblog

Thursday, May 19, 2022

Hukum Mengutamakan Anak yang Lebih Berbakti dalam Pemberian

Fatwa Syekh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah

Pertanyaan:

Sebagian orang membeda-bedakan salah seorang anak atas anak-anaknya yang lain berdasarkan tingkat bakti dan kasih sayangnya kepada orangtuanya. Ia khususkan anaknya dengan bakti yang lebih tinggi dan memberikan pemberian berdasarkan tingkatan baktinya. Apakah termasuk adil jika orang tua memberi dengan membeda-bedakan anak berdasarkan tingkat baktinya sebagai imbalan dari baktinya?

Jawaban:

Tidak ragu lagi bahwa sebagian anak lebih baik dari sebagian yang lain. Ini adalah perkara yang maklum. Akan tetapi, tidaklah patut bagi orang tua untuk mengutamakan sebagiannya dengan sebab tersebut. Bahkan, ia wajib untuk berbuat adil berdasarkan sabda Nabi shallalllahu ‘alaihi wasallam,

اتقوا الله واعدلوا في أولادكم

“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kepada anak-anak kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka, tidak boleh baginya untuk membeda-bedakan dengan dalih bahwa anak yang ini lebih baik dari yang itu, dan lebih berbakti dari yang lain. Bahkan, dia wajib berbuat adil di antara mereka dan menasihati semuanya sampai mereka istiqomah di atas kebaikan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Tidak boleh membeda-bedakan sebagian di atas sebagian yang lain dalam pemberian. Tidak boleh memberi wasiat harta untuk sebagian dengan meninggalkan sebagian yang lain. Semuanya sama dalam hak waris dan pemberian. Sesuai dengan kadar yang diatur dalam syariat tentang warisan dan pemberian.

يعدل بينهم كما جاء في الشرع فللرجل مثل حظ الأنثيين، فإذا أعطى الرجل من أولاده ألفاً يعطي المرأة خمسمائة، وإذا كانوا مرشدين وتسامحوا، وقالوا أعط أخانا كذا، وسمحوا سماحاً واضحاً، فإذا قالوا نسمح أن تعطيه سيارة أو تعطيه كذا ويظهر له أن سماحهم حقيقة ليس مجاملة ولا خوفاً منه، فلا بأس.

Seseorang hendaknya berbuat adil di antara mereka (anak-anaknya) sebagaimana telah diatur dalam syariat. Maka, untuk seorang laki-laki setara dengan bagian dua orang perempuan. Apabila ia memberikan untuk seorang laki-laki dari anak-anaknya 1000 (seribu), maka ia berikan untuk yang perempuan 500 (lima ratus).

Namun, jika mereka (anak-anaknya) sudah balig dan mereka saling berbesar hati, sehingga mereka mengatakan (misalnya), “Tidak apa, berikan (saja) kepada saudara kita (ini) sekian dan sekian.” Jika mereka jelas-jelas memberi izin, seperti mereka berkata, “Kami menyetujui bahwa Engkau memberinya mobil atau memberinya ini dan itu.” Dan orang tua melihat sangat jelas pemakluman mereka tersebut, bukan sekedar ingin bermanis muka atau takut kepada orang tua, maka tidak mengapa memberi lebih kepada saudaranya tadi.

Maksudnya, hendaknya ia berusaha untuk berbuat adil, kecuali jika anak-anaknya menunjukkan kerelaan mereka, baik laki-laki atau perempuan, dan mereka berlapang dada kepada sebagian dari mereka untuk diberikan sesuatu karena sebab-sebab tertentu, maka tidak mengapa. Itu hak mereka.

Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Juz 9

Sumber: http://iswy.co/e109dh


Baca Juga:

    Apakah Anak Wajib Membayar Hutang Orang Tua? https://muslim.or.id/57223-apakah-anak-wajib-membayar-hutang-orang-tua.html

    Siapa yang Menafkahi Orang Tua? https://muslim.or.id/57343-siapa-yang-menafkahi-orang-tua.html


***


Sumber: https://muslim.or.id/71776-fatwa-seputar-pemberian-orang-tua-kepada-anak.html

 

https://static.muslim.or.id/wp-content/uploads/2022/01/20220118-Fatwa-Seputar-Pemberian-Orang-Tua-kepada-Anak-768x474.jpg

 

logoblog

Wednesday, May 18, 2022

Alasan Pelaku Maksiat: Saya Belum Dapat Hidayah!

Fatwa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-’Utsaimin

Soal:
Seorang pelaku maksiat, ketika diajak kepada kebenaran ia mengatakan, “Sesungguhnya Allah belum menakdirkan untukku hidayah”. Bagaimana cara menanggapinya?

Jawab:
Kita katakan dengan sederhana saja: “Apakah Anda mengetahui perkara gaib (yaitu takdir) atau telah membuat perjanjian di sisi Allah?”. Apabila ia bilang, “Iya”, maka ia telah kafir, karena ia telah mengaku mengetahui hal gaib. Jika ia jawab, “Tidak. Hanya perkiraan dan sangkaan saja”. Jika Anda tidak tahu bahwa Allah belum menuliskan hidayah untuk Anda, maka carilah hidayah itu. Allah tidak menahan Anda dari hidayah, bahkan menyeru Anda kepada hidayah, dan menginginkan Anda mendapatkannya. Allah memperingatkan Anda dari kesesatan, dan melarang darinya. Allah ‘Azza wa Jalla tidak berkehendak untuk mengajak hamba-hambaNya kepada kesesatan, selama-lamanya. Allah Ta’ala berfirman,

يبين الله لكم أن تضلوا

“Allah menerangkan kepada kamu (hukum ini), supaya kamu tidak tersesat.” (QS. An-Nisa: 176)

يريد الله ليبين لكم ويهديكم سنن الذين من قبلكم ويتوب عليكم

“Allah hendak menerangkan (hukum syariat-Nya) kepada kamu, dan memberi kamu petunjuk kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan orang-orang shalih) dan menerima taubatmu.” (QS. An-Nisa: 26).

Maka bertaubatlah kepada Allah! Allah ‘Azza wa Jalla lebih dahsyat rasa gembiranya dengan taubat Anda daripada seseorang yang kehilangan untanya, yang membawa makanan dan minumannya, ketika ia telah putus asa darinya. Ia tidur di bawah pohon sambil menunggu kematiannya. Lalu, ia terbangun, dan tiba-tiba tali untanya sudah terikat di pohon. Ia ambil tali untanya dengan gembira dan mengatakan, “Ya Allah! Engkau adalah hambaku dan aku adalah rabb-Mu!!!”. Dia salah bicara karena saking gembiranya. Maka kami katakan, bertaubatlah kepada Allah! Allah menyuruh Anda untuk menggapai hidayah dan menerangkan untuk Anda jalan kebenaran. Wallahu waliyyuttaufiq.

Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasa-il Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-’Utsaimin, Jilid kedua, Bab Al-Qadha wal-Qadar. URL: https://al-maktaba.org/book/12293/390


Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14429-alasan-pelaku-maksiat-saya-belum-dapat-hidayah.html

 

https://static.muslimah.or.id/wp-content/uploads/2022/05/20220514_085518-810x500.jpg

 

logoblog